Duka di Tahun 1437 H

Kemarin merupakan hari terakhir dalam kalender Islam, dan hari ini adalah Tahun Baru Islam 1438 H. Dalam setahun terakhir ini, panjang sekali perjalanan hidup yang telah kutempuh. Peristiwa-peristiwa yang menyenangkan hingga menyedihkan, semua masih tersimpan rapi dalam piringan hitam memoriku. 

Hal yang menyenangkan memang membawa kesan untuk selalu diingat. Bukan karena sengaja, namun sudah menjadi sebuah hal biasa bagi sel otak untuk selalu mengabadikannya. Bukankah suatu yang menyenangkan akan selalu melekat pada ingatan?


Analogi kecilnya begini, seperti anak ayam yang baru saja ditiupkan ruh kehidupan, lahir ke dunia ini dengan melepaskan diri dari cangkangnya. Dibalik itu ada figur yang berperan penting dalam kelahiran anak ayam itu, siapa lagi kalau bukan induknya sendiri.

Dua puluh satu hari berjalan, dari sejak hari pertama, anak ayam yang masih berbentuk telur selalu ditemani. Apa yang terjadi setelah 21 hari kemudian? Telur itu menetas dan lahirlah bayi ayam, untuk beberapa hari kemudian bertambah besar dan dewasa.

Pada saat-saat mencari makan, anak ayam akan selalu mengekor induknya. Ia akan selalu ingat mana ibu yang menelurkan ke dunia, dan mana yang bukan. Bahkan, saat terpisah pun anak ayam akan selalu mengenalinya. Bukankah itu benar? Bahwa sesuatu yang menyenangkan akan selalu diingat dan terkenang. Seperti halnya telur ayam yang selalu ditemani, sebelum ia lahir ke dunia.

Pun sama halnya dengan sesuatu yang menyedihkan. Sesuatu yang kita benci agaknya selalu membawa kesan mendalam untuk selalu tersimpan dalam ingatan. Peristiwa-peristiwa itu akan terus terbawa kemanapun kita pergi, sejauh mungkin. Sehebat apapun menghindar, ia akan semakin terus mengejar. Aku tahu, tak mudah memang melupakan semua hal menyakitkan itu. Namun apakah selamanya kita akan membenci segala hal yang menyedihkan itu, seperti halnya ; melepaskan kepergian dan kehilangan seseorang yang kita cintai?

Mungkin di antara kalian ada yang punya kisah yang hampir mirip dengan kisah ini. Suatu hal yang menyakitkan. Baik akan kuceritakan semua hal yang kubenci itu. Kisah yang takkan pernah terlupakan. Dan kisah ini bermula setahun yang lalu, saat aku hendak pergi merantau di bumi yang sekarang aku tinggali ini, Bekasi. 

Seminggu sebelum berangkat ada peristiwa yang begitu menghebohkan, warga sekampung dari mulut ke mulut sudah mendengar. Kakak ipar dari kakak perempuan pertama mendapat musibah yang cukup serius, tengah malam kami mendapat kabar bahwa ia sedang dirawat di suatu rumah warga tetangga desa, yang tak lain adalah seorang tukang pijat tradisional. Lalu apa hubungannya? 

Di malam yang sama, oleh suatu orang yang datang memberi kabar. Kakak ipar mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat itu juga ia dilarikan ke rumah tukang pijat terdekat. Kondisinya memprihatinkan, bajunya kotor oleh lumpur, tubuh tergulai lemas, mulutnya merintih kesakitan. Yang lebih parah lagi, tulang paha sebelah kanan patah. Dengan bantuan tukang pijat, kakinya dipasang penyangga dan dibalut perban.

Keesokan harinya, aku ikut pergi bersama bapak dan Kang Pri untuk menjenguk. Pada hari yang sama ia sudah boleh dibawa pulang. Hari-hari berlalu, sakitnya semakin bertambah parah. Obat yang diberikan tukang pijat tidak berpengaruh. Alhasil, ia harus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang intensif dan dilakukan operasi untuk memasang pen pada tulang yang patah. Selepas dari rumah sakit, setiap minggu ia harus melakukan kontrol. Kalian tahu, siapa yang membantu untuk berdiri, membopong, juga menaikkan ke mobil untuk kemudian dibawa pergi kontrol. Adalah bapak, ayah kandungku sendiri.

Beberapa hari berlalu, terdengar kabar yang simpang siur tentang kebenaran berita itu. Menurut beberapa orang terdekat, penyebab patah tulang di pahanya bukan murni karena kecelakaan. Ada rahasia kecil yang disembunyikan, disimpan sendiri. Ia menolak untuk menceritakan kronologisnya dengan tujuan menutupi erat-erat aib itu.

Sebagaimana sebuah bangkai yang disembunyikan, cepat atau lambat akan tercium juga bau busuknya. Begitulah kisah ini bemula hingga menemui titik terang. Puncaknya ketika salah seorang saudara menceritakan tentang perihal itu. Ia bercerita bahwa penyebab patah tulang kakak iparku bukan karena sebuah kecelakaan.

Tapi karena wanita lain. Dendam yang telah disimpan lama, tentang kecemburuan dari seorang pria yang juga menyukai wanita yang sama. Menunggu waktu yang tepat, dan akhirnya dendam itu terbalaskan. Kejadiannya, ketika kakak ipar selepas kembali dari rumah wanita itu. Di tengah malam, ia dihadang seorang pria. Dari tangan pria itu, sebuah pipa besi melayang ke pahanya. Pada saat itu juga kakak iparku terkapar, tak berdaya. Hingga salah seorang warga mengetahui dan dibawa ke rumah tukang pijat terdekat. 

Mengetahui berita tersebut kami semua tercengang. Bak mendapat sambaran petir di siang bolong. Siapa yang paling terkejut mendengarnya, yang pertama adalah isteri. Ia tak percaya sang suami telah berbuat sedemikian rupa. Mangkhianati kesetiaan yang selama betahun-tahun dipertahankan. Setelah itu adalah mertua, kedua orang tuaku. Terutama bapak. Beliau orang yang paling trauma. Hingga berhari-hari larut dalam kesedihan yang mendalam. Tidak berselera makan, karena ingat peristiwa yang menimpa menantunya. Beliau memikirkan putri perempuan. Juga menantu, bagaimana mungkin ia bisa berbuat setega itu terhadap isteri, mertua, juga keluarga.

Seminggu berikutnya, tepat pada tanggal 21 Agustus 2015, aku mendapatkan panggilan kerja di Bekasi. Saat itu juga aku menyiapkan segala perlengkapan yang aku butuhkan. Bapak sendiri yang mengantarku ke sekolah, menunggu bus yang lewat di sana. Berat sekali melepas mereka, termasuk meninggalkan kedua orangtuaku, kakak-kakak, seluruh keluargaku. Aku tak bisa tahu kabar mereka setiap hari, kecuali dari suara yang merambat melalui sinyal seluler.

Tiap minggu sekali aku menelpon, menanyakan kabar tentang semuanya. Tiga bulan kemudian lewat telpon aku mendapati ayah sedikit sakit, intonasi suaranya rendah, badannya lemah. Aku meminta bapak untuk segera berobat. Periksa ke dokter. Aku bertanya dalam hati, apakah bapak masih memikirkan kejadian tiga bulan lalu, hingga beliau lupa makan dan akhirnya jatuh sakit.

Bapak sedikit ngeyel, tidak mau diajak berobat, beliau bilang tidak apa-apa. Padahal kondisinya tak kunjung membaik seminggu setelah aku telpon. Hari berlalu, aku semakin rutin menanyakan kabar. Bapak semakin bertambah sakit, oleh dokter didiagnosa menderita sakit kuning, hepatitis. Semacam ada peradangan di organ hatinya. 

Libur tahun baru aku berniat pulang ke rumah Pati, Jawa Tengah, untuk mengobati rasa rindu sekaligus menjenguk bapak. Dengan mata kepala sendiri, aku menyaksikan kondisi bapak yang semakin memprihatinkan, badannya kurus, kulitnya berwarna kuning, sinar matanya juga berubah, sayu, dan kuning. Mungkin ini efek dari penyakit hepatitis itu. 

Dari pihak keluarga sebenarnya juga sudah membawanya berobat, namun belum mendapatkan hasil perkembangan yang signifikan. Malah cenderung memburuk. Satu hal yang aku heran, dengan kondisi bapak yang seperti itu, beliau masih giat bekerja. Saat itu Kang Pri, kakak keduaku sedang membangun rumah barunya, beilau ikut serta membantu, menaikkan genting ke atas.

Tiga hari di rumah, itu waktu yang begitu singkat. Aku kembali, ke Bekasi. Berpamitan ke sanak-famili, saat itu juga aku pertama kali dipeluk bapak, sebelum aku kembali, beliau berpesan, “Rajinlah mengaji. Nak!” aku mengangguk takzim dan mencium tangannya. Do’aku, “Semoga cepat sembuh, Pak!”

Aku juga berpamitan dengan mbah putri dan mbah kakung. Mbah putri beliau masih sehat, meskipun agak kelebihan barat badan, beliau masih sanggup berjalan normal. Mbah kakung, usia sudah 94 tahun, seharusnya beliau juga masih sehat, namun karena faktor usia, jiwanya sedikit terganggu. Beliau sering mengigau, bicara sendiri. 

Terkadang nafasnya juga terasa sesak, aku sudah acapkali mengingatkan untuk meninggalkan rokoknya. Namun beliau mengelak dan berkata, “Ora rokok sing gawe ambekanku sesek, le!”. Bukan karena rokok, Nak! Padahal jelas-jelas rokok memberi dampak negatif terhadap kesehatan paru-paru.

Tak perlu lama-lama aku harus segera berpamitan, sambil memberi selembar uang berwarna biru untuk mbah. Mengucapkan salam perpisahan. Semoga kalian semua baik-baik saja.

***

Tahun sudah berganti, 2016. Pada tahun inilah aku kehilangan orang-orang yang aku cintai. Melepaskan pergi orang yang kita cintai adalah hal yang sangat menyakitkan, apalagi jika kepergian itu tak akan pernah kembali, selamanya.

Sekembalinya dari kampung, aku sering menanyakan kabar tentang bapak, tentang keluarga. Hingga suatu hari, selepas pulang kerja shift malam, aku mendapat kabar yang sangat mengejutkan dari kakak laki-laki. 

“Halo, Yul?”

“Halo, Ono opo Kang Pri?”

“Kowe sing tabah yo,”

Tiba-tiba saat itu juga aku teringat bapak yang sedang sakit. Kondisinya yang semakin melemah, mebuatku semakin menghawatirkan beliau. Nafasku berdegup kencang, ritme detak jantung tak teratur, aku panik. Jangan-jangan...

“Yul, Kowe ndungu suaraku, kan?”

“Tabahno pikirmu, kowe sing sabar yo!”

Aku masih terdiam, membayangkan semua yang terjadi. Apakah semuanya secepat ini? Aku tak tahu. Perasaan panik dan bingung melandaku. Hingga Kang Pri memberi penjelasan. Dan betapa terkejutnya setelah aku mendengar berita duka itu.

“Sewengi, aku lan ibumu melu ngeterke nang rumah sakit rumah sakit. Kodisine wis ngeneske, wis ora ketulung maneh. Mbah kakung wis ora ono, wis seda sakdurunge wayah subuh mau. Bapakmu ora iso melu, kondisine iseh lemah. Tenangno pikirmu yo!” tambah Kang Pri. Melanjutkan penjelasannya tadi.

Innalillahi wainaillahi rajiun. Ada apa ini, bukankah sebelumnya mbah kakung baik-baik saja. Bahkan sebelum keberangkatan balik ke Bekasi, kami sedikit bercanda tentang pernikahan. Beliau bilang kepadaku untuk tidak menikah dengan orang yang jauh. 

Lantas aku menjawab untuk menikah dengan orang Jakarta, dan beliau terkekeh mendengarnya. Lalu bagaimana dengan bapak? Aku tahu, meskipun kabar itu bukan datang dari bapak, namun tetap saja itu menyakitkan.

Kemudian koneksi telpon terputus. Ada apa ini?

Related Posts:

Belum ada tanggapan untuk "Duka di Tahun 1437 H"

Post a Comment

Yuk, kasih komentar kalian di sini!