Selepas sholat magrib di masjid, aku langsung balik ke kosan.
Awalnya berniat mau bersih-bersih, merapikan tempat tidur yang seperti sarang
tikus. Kaos, baju, celana berserakan. Buku-buku bertebaran di sembarang tempat.
Lantai pun tak luput diselimuti oleh debu tipis yang terbang ditiup angin dari kipas yang berputar, serta rentekan sisa makanan mengundang semut untuk bertamu.
Bikin risih saja. Di sela-sela itu aku menemukan cotton bud, kemarin aku membelinya namun belum sempat terpakai untuk membersihkan curek di daun telinga. Dan inilah saatnya, kumasukkan ujung batang yang terbalut gumpalan kapas ke dalam telinga.
Lantai pun tak luput diselimuti oleh debu tipis yang terbang ditiup angin dari kipas yang berputar, serta rentekan sisa makanan mengundang semut untuk bertamu.
Bikin risih saja. Di sela-sela itu aku menemukan cotton bud, kemarin aku membelinya namun belum sempat terpakai untuk membersihkan curek di daun telinga. Dan inilah saatnya, kumasukkan ujung batang yang terbalut gumpalan kapas ke dalam telinga.
“Astaghfirllah, kenapa jadi begini. Telingaku seperti ada
yang menyumpal.” ujarku panik, sambil menjewer daun telinga sebelah kanan.
Rupanya curek itu, kotoran yang telah berbulan-bulan menganak
di dalam telingaku. Sekarang telah tumbuh menjadi besar dan banyak.
Itu yang menyebabkan cutton bud yang kupakai tidak membantu, justru membuat kotorannya masuk lebih dalam. Akibatnya telinga sebelah kananku agak sedikit berkurang pendengarannya.
Itu yang menyebabkan cutton bud yang kupakai tidak membantu, justru membuat kotorannya masuk lebih dalam. Akibatnya telinga sebelah kananku agak sedikit berkurang pendengarannya.
”Jangan panik, Yul. Rilex,
atur nafas!” Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Mencoba
menenangkan pikiran.
“Dompet dan ponsel mana?” keluhku, sambil mencarinya di bawah
bantal.
Setelah beberapa menit mencari-cari. Akhirnya ketemu juga,
dengan setengah berlari aku keluar dari kosan dan mengambil sepeda yang
terparkir di depan.
Telinga kananku masih terasa dungu, seperti tersumpal oleh sampah-sampah yang telah menumpuk. Dengan perasaan khawatir, aku segera pergi ke klinik terdekat.
Telinga kananku masih terasa dungu, seperti tersumpal oleh sampah-sampah yang telah menumpuk. Dengan perasaan khawatir, aku segera pergi ke klinik terdekat.
“Assalamu’alaikum Bu, boleh minta tolong? Tadi, saya
membersihkan telinga dengan cotton bud. Bukannya keluar, kotoran yang ada malah
masuk ke dalam. Sekarang telinga sebelah kanan, terasa berkurang
pendengarannya.” terangku pada dokter.
“Waalaikumsalam, ayo masuk!” tanpa basa-basi dokter yang
kutemui menyilakanku masuk. Aku disuruh berbaring diranjang dan memiringkan
badanku. Lalu dengan cekatan beliau mengambil lampu sorot untuk membantu
melihat kotoran di telingaku.
“Gimana Bu, apakah banyak kotorannya?” tanyaku, agak
terbata-bata mengucapkannya. Masih sedikit gugup.
“Wah, ini bukan cuma banyak. Tapi melimpah, lihat saja nanti
kotoranmu yang seabrek ini. Satu lurah kebagian,” jawabnya, sambil tertawa.
Tanpa sempat memberikan komentar padanya, beliau melanjutkan
dengan memberiku pertanyaan. Pertanyaan yang membuatku tersipu malu.
“Sudah berapa lama kamu tidak membersihkannya?” tanyanya
sambil mengorek-korek telingaku.
“Sudah lama sih Bu, paling empat
bulanan,” ujarku, sedikit meringis menahan sakit.
“Nggak mungkin, sebanyak ini cuma
beberapa bulan. Ini pasti sudah lama. Ayolah mengaku saja, aku sudah menangani
banyak pasien dengan kasus yang sama sepertimu.”
“Benar, hanya beberapa bulan. Seingat
saya, terakhir dibersihkan pada awal-awal bekerja di kota ini. Itu artinya
hampir setahun.”
“Akhirnya mengaku juga, hahaha. Dasar
pemalas, Ibu sudah ahli dalam hal ini. Asal kamu tahu, dari 20 orang yang
datang ke sini satu di antaranya adalah perempuan. Itu pun, tak separah kamu,
sampai kotoran telinganya satu kelurahan begini.” tukas Bu Dokter, lalu
memperlihatkan kotoran telinga yang ditaruh di atas selembar tissue.
Aku melihatnya sedikit geli, banyak
sekali benda itu. Gumpalan berwarna merah bata yang berbulan-bulan menyumpal di
telingaku. Benar juga kata Bu Dokter, lelaki memang pemalas. Termasuk yang
bicara ini.
Dengan sedikit malu aku mengiyakan perkataannya. Sebelum balik ke kosan, aku meminta sejumlah peniti untuk membersihkan kotoran di telinga. Agar tak menumpuk lagi seperti ini, lalu aku menyerahkan satu lembar uang berwarna biru untuk menebus jasanya dan sejumlah peniti itu.
Habis ini aku akan makan dulu, malam ini berangkat kerja masuk jam 9. Untung saja kejadiaannya beberapa jam sebelum berangkat kerja, jadi aku masih punya banyak waktu untuk membawanya ke klinik. Syukurlah, semua ini pasti ada hikmahnya. Syukron
Dengan sedikit malu aku mengiyakan perkataannya. Sebelum balik ke kosan, aku meminta sejumlah peniti untuk membersihkan kotoran di telinga. Agar tak menumpuk lagi seperti ini, lalu aku menyerahkan satu lembar uang berwarna biru untuk menebus jasanya dan sejumlah peniti itu.
Habis ini aku akan makan dulu, malam ini berangkat kerja masuk jam 9. Untung saja kejadiaannya beberapa jam sebelum berangkat kerja, jadi aku masih punya banyak waktu untuk membawanya ke klinik. Syukurlah, semua ini pasti ada hikmahnya. Syukron
Belum ada tanggapan untuk "Lelaki Pemalas dan Cureknya "
Post a Comment
Yuk, kasih komentar kalian di sini!